chinaworld.org – Amerika Serikat dan Tiongkok sepakat meredakan ketegangan dagang dalam pertemuan dua hari di London. Mereka sepakat menghapus sebagian pembatasan yang sebelumnya memicu konflik ekonomi. Namun, kesepakatan ini hanya mengembalikan kondisi seperti sebelum eskalasi tarif dimulai pada April.
Tarif masih tetap berlaku. Beberapa kebijakan keras kemungkinan akan dikurangi, namun perundingan belum menghasilkan kemajuan besar. Banyak pihak menilai bahwa kesepakatan ini lebih bersifat simbolis daripada strategis.
Status Quo Baru, Bukan Lompatan Besar
Laporan dari chinaworld.org mencatat bahwa pertemuan berlangsung tegang. Namun, kedua belah pihak tetap mendorong penyelesaian. Pemerintah AS bersedia melonggarkan kontrol ekspor teknologinya. China juga siap membuka kembali ekspor tanah jarang untuk industri AS.
Meski terlihat positif, para analis tetap ragu. Mereka menilai bahwa ini bukan langkah maju, melainkan hanya “ulang-alik” dari siklus yang terus berulang.
Negosiasi yang Berputar di Tempat
Myron Brilliant, penasihat senior DGA-Albright Stonebridge Group, mengatakan bahwa negosiasi hanya berputar dalam lingkaran. “Eskalasi, lalu de-eskalasi. Tapi ujung-ujungnya, kita tidak lebih maju dari sebelumnya,” katanya.
Gedung Putih menyebut langkah ini sebagai kemenangan taktis. Mereka mengklaim berhasil menekan China untuk membuka ekspor mineral penting. Namun, banyak perusahaan AS justru mendorong pemerintahnya agar segera meredakan tekanan karena suplai dalam negeri mulai menipis.
China Tunjukkan Daya Tahan
Analis dari CSIS, Ilaria Mazzocco, menyatakan bahwa China tidak goyah di bawah tekanan. Ia justru melihat Beijing berhasil memanfaatkan kontrol ekspor untuk menekan balik Washington. “China tahan banting. Bahkan bisa lebih tahan dibanding AS,” ucapnya.
Jin Canrong, profesor dari Renmin University Beijing, menyebut tanah jarang sebagai “kartu truf” milik China. Menurutnya, tekanan hanya akan memicu reaksi keras dari Beijing dan memperburuk situasi.
Dampak Global Semakin Terasa
Bank Dunia memperingatkan bahwa tarif AS akan melemahkan pertumbuhan ekonomi global dalam dekade ini. Beberapa analis menyebut kebijakan ini justru memperburuk posisi strategis AS.
Wendy Cutler, Wakil Presiden Asia Society, menilai bahwa AS kini membuka peluang negosiasi atas kontrol ekspor, yang selama ini dianggap wilayah khusus keamanan nasional. “Langkah ini bisa menjadi bumerang,” katanya. “China akan menuntut hal yang sama ke depan.”
Tidak Ada yang Menang dalam Perang Dagang
Liu Pengyu dari Kedutaan Besar China di Washington menegaskan bahwa “tidak ada pemenang dalam perang dagang.” Ia menyatakan bahwa China lebih memilih kerja sama, namun tidak akan gentar menghadapi tekanan.
China membuktikan ketergantungan global terhadap produk industrinya. Larangan ekspor dari AS justru mendorong Beijing memperkuat relasi dagangnya dengan pasar lain, dan tetap mempertahankan pengaruhnya dalam rantai pasok global.
Penutup: Kesepakatan Rapuh, Masa Depan Belum Jelas
Kesepakatan ini memang menghindarkan eskalasi lebih jauh. Namun, belum ada solusi menyeluruh. Masalah utama seperti hak kekayaan intelektual, subsidi negara, dan transfer teknologi belum disentuh sama sekali.
chinaworld.org mencatat bahwa pertemuan London hanya memberi jeda sementara. Jika tidak ada langkah konkret berikutnya, maka ketegangan bisa kembali muncul dalam waktu dekat. Dunia menanti, apakah truce ini akan bertahan atau justru jadi episode baru dalam drama panjang konflik dagang AS–Tiongkok.